ORIENTASI

Sumber Foto :https://www.muslimdakwah.com/2017/08/hadits-tentang-memanah.html

Sapa wêruh kêmbang têpus kaki/

Sasat wêruh rêke Artadaya/Tunggal pancêr ing uripe/

Sapa wruh ing panuju/

Sasat sugih pagêre wêsi/

Sinihan wong sajagad/

Kang angidung iku/

Bratanana aywa nendra/

Ing sadina sawêngi sawabireki/

Sarwa cinipta dadya.

Siapa yang mengetahui dan memegang teguh tujuan (hidup) sebenarnya, akan dijaga hidupnya, di sayangi manusia se jagat.

Lalu apakah tujuan hidup yang sebenarnya itu? Bagaimana tujuan hidup personal dapat mendukung tatanan sosial dan tatanan bernegara?

Sang Begawan psikologi sosial , Erich Fromm, dalam salah satu karnya “Psikoanalisis dan Zen Buddhisme” memaparkan secara runut dan terang tentang apa yang dimaksud alam sadar, alam bawah sadar, kesejahteraan (well-being), hakikat beragama serta tujuan hakiki manusia. Fromm menyatakan bahwa “setiap manusia yang berupaya mencari dan menjawab pertanyaan eksistensialis dari keberadaannya sendiri adalah orang yang beragama”. Hal ini sejalan dengan ajaran jawa yang sangat popular, untuk mengerti dan memahami “Sangkan Paraning Dumadi”

Fromm ingin menggali lebih dalam makna hakiki tujuan hidup manusia yang tak jarang justru terdistorsi oleh penfsiran dan otorisasi agama.

Menyangkut zen buddhisme Fromm menyatakan bahwa tujuan dari zen budhisme adalah untuk mencapai pencerahan , SATORI. Satori tercapai salah satunya ditandai oleh berkembangnya sikap reseptif, responsive sekaligus produktif dalam upaya membebaskan diri dari kelumpuhan (batin, psikologis).

Orientasi Negara Indonesia seperti termaktub dalam pembukaan UUD 1945 adalah, pertama melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, kedua untuk memajukan kesejahteraan umum, ketiga mencerdaskan kehidupan bangsa, keempat ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.

Mencermati berbagai kasus besar yang mencuat menggambarkan situsi hilangnya orientasi dasar bangsa dan Negara tersebut. Politisi beralih orintasi ke kepentingan partai, memperkaya diri, yang saya yakin para pembaca mengetahuinya dengan terang dan gamblang melalui pemberitaan media masa.

Kehidupan bernegara didominasi oleh orientasi yang berlawanan dengan tujuan hidup hakiki personal setiap manusia. Dampaknya terjadi eksploitasi alam besar-besaran karena mengejar kesejahteraan yang disangkanya tergantung sepenuhnya pada materi/kekayaan. Dan di tahap berikutnya kekayaan bergandeng erat dengan kekuasaan, dimana keduanya begitu mesra, saling mendukung, perkara urusan kesejahteraan rakyat adalah nomor dua, bahkan berpotensi untuk di kapitalisasi guna keuntungan pribadi dan kelompoknya.

Bukankah ibarat membidikkan panah pada sasaran, orietasi sasaran meleset 1 derajat saja akan sangat jauh meleset?

RAHAYU

Dimesrai angin, dibelai awan

Selepas maghrib,ketika garis jingga langit mulai pergi,

Angin membelaiku mesra, seperti tiupan bidadari yang tinggal di taman sejati.

Lama memang terjeda, sapanya yang mesra.

Melongok langit yang keemasan, awan gemawan bergerak lembut…Menjulurkan tangannya meraih pipi.

Angin dan awan beriringan, membawakan sapa rindu kekasih kepada bunganya,yang menunggu dibalik kelambu malam.

Aku pun berniat menerimanya, belaian awan mesranya angin.

Melebihi kelembutan manusia, yang hanya berusaha menguasai sesamanya…

Entah demi apa?!

Bahasa manusia untuk AHOK

Anda china, atau anggaplah kafir, atau apapun.
Tapi engkau manusia seperti saya….
Engkau tdk pernah membunuh orang, tidak pernah menghalangi orang beribadah, bercita cita bekerja sebaiknya.

Kini engkau sepi, terpaksa duduk sendiri, seperti pesakitan.
Segala yang engkau perjuangkan dianggap lenyap, tak berguna.

Tak apalah, titah massa seperti palu godam,
Garang merajam.

Kesepianmu ikut ku rasa,
Karena kita sama sama manusia.

Bahkan sangat mungkin aku lebih nista dari anda.

Jabat tanganku selalu buatmu saudara sesama manusia.

Biarlah kalau pun aku ikut dibenci dengan mengatakan ini.

Menyatakan Ini adalah perintah hati.FB_IMG_1494329084482

“SUARA TUHAN”

Vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan. Begitu bunyi sebuah kalimat yang menjadi salah satu nilai etis dasar pelaksanaan demokrasi. Bahwa suara rakyat sedemikian berharganya sehingga dianalogikan sebagai suara tuhan.
Budaya dan agama timur meyakini jalan meditasi (samadi) sebagai sarana untuk “mendengarkan” suara tuhan. Syarat utamanya adalah suasana yang memungkinkan tercapainya kondisi hening, bening, jernih. Para yogi di india atau penganut buddha rela pergi ketempat sunyi semisal hutan atau wihara untuk mencapai kondisi hening bening dimaksud. Pun menurut cerita sejarah Kanjeng Nabi Muhammad menerima wahyu pertama ketik sendiri di tempat yang sunyi, didalam goa Hira, bukannya ketika beliau di pasar atau alun-alun yang ramai.
Kita sedang dalam tahap persiapan menjaring “suara tuhan” tersebut, pemilu sebagai mekanisme yang di mutlakkan akan berlangsung dengan biaya yang tidak sedikit, dengan sistem yang rumit. “Suara tuhan” yang dititpkan kepada rakyat akan segera menjadi rebutan. Ritual yang digunakan tetap sama, uba rampe nya berupa kertas bergambar full color beserta alat runcing dan bantalnya serta bilik-bilik skral. Para politisi mulai berlomba memasang baliho atau poster dengan pose yang paling menawan. Jargon-jargon yang mirip janji-janji diujar di televisi. Nanti ketika masa kampanye tiba, panggung yang besar di lapangan disediakan, musik dangdut dan jogetan di suguhkan. Konvoi sepeda motor yang mengganggu dipertontonkan di jalan-jalan, maklum terlanjur disebut sebagai “pesta” demokrasi. Keheningan dalam bentuk dialog yang jujur menjadi nomor sekian. Begitulah cara yang umum untuk menjaring “suara tuhan”, penuh hiruk yang pikuk memabukkan.
Ketika prosesnya telah usai, dan lulusan-lulusan pemilu terpilih menjadi legislator atau pemimpin eksekutif, “suara tuhan” menjadi kurang penting. Bahkan tak jarang terjadi “suara tuhan” dibajak oleh lembaga-lembaga swadaya untuk dijadikan dasar bargining demi tujuan yang miring. Fenomena demonstran bayaran sering kita jumpai. Jika merujuk kepada hikayat-hikayat tentang raja-raja agung jaman dahulu, mereka tak segan keluar istana, menyamar sebagai jelata, melepaskan diri sejenak dari ke-raja-annya, berkeliling ke pelosok-pelosok untuk mendengarkan suara rakyat yang asli, jujur untuk mengukur tingkat kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinannya. Tentu tidak lantas di jaman sekarang melakukan hal sama, tetapi paling tidak pola-pola pendekatan jujur tanpa protokoler dan upacara penyambutan yang gegap gempita bisa dilakukan.
Disisi lain rakyat yang dititipi “suara tuhan” pun setali tiga uang. Banyak yang lupa bahwa mereka dititipi “suara tuhan”. Lebih cilaka lagi “suara tuhan” mereka materialkan, dijual dengan beberapa puluh ribu rupiah, atau justru dipertaruhkan di medan judi. Pada momen pilkades contohmya sudah umum kita mendengar istilah lek-lekan, ngapit, nglimolasi diobrolkan di warung-warung kopi. Dan trik judi tak jarang menjadi senjata ampuh untuk memenangkan pertarungan. Visi misi, track record calon menjadi hal yang tak penting lagi. Tak pelak biaya politik menjadi begitu tinggi dan tak jarang sulit diterima akal. Bagaimana mungkin untuk jabatan kepala desa saja berani mengeluarkan biaya ratusan juta rupiah.
Kalau mau jujur, budaya politik seperti inilah yang menjadi pemicu lingkaran setan persoalan. Out-put proses politik yang asal-asalan, desakralisasi jabatan publik yang berimbas kepada menurunnya ketaktaatan rakyat, ketakpercayaan kepada proses politik merebak dimana-mana sehingga pasca pemilihan seringkali terjadi kerusuhan. Nyamankah kita sebenarnya dengan situasi ini?, atau jangan-jangan kita semua tengah menikmatinya?
Sehingga vox populi masihkah vox dei???
Tau ahh!!! Gelap

Juli 2013.
Bambang Hermawan

NGAJI KARAWITAN

Image

Karawitan merupakan g

enre music komunal, kental dengan kebersamaan. Karawitan merupakan sebuah masyarakat mini, yang justru memiliki makna yang perlu dikaji, dijadikan sumber insirasi dan diteladani. Bayangkan jika sesorang memainkan Gong sendirian, atau bermain bonang, keno

ng, kendhang sendirian, pasti banyak dantara kita yang terganggu dengan suara-suara yang tak harmonis. Berbeda dengan jika seseorang memainkan gitar sendirian, atau piano (instrument barat), masih enak didengar, yang sesuai dengan watak masyarakat barat lebi

h condong kepada individualisme.

Dalam sebuah permainan karawitan, pemain kendhang menduduki fungsi dan peran kunci. Ia harus paham gendhing apa yang hendak/sedang dimainkan, apakah berpola  lancaran, ladrang, palaran, ketawang, srepeg dan sebagainya. Dari situ pengendhang musti paham letak kapan jatuh kenong, kempul dan gong nya. Pendek kata pengendang musti teguh memegang visi permainan. Pengendang juga harus paham irama, apakah hendak/waktunya memainkan irama lancar, irama dadi atau irama wiled. Setiap memasuki perpindahan irama dia harus mampu memainkan pukulan kendhang ater-ater (tanda perpindahan irama)  yang jelas, mudah dipahami dan mampu menggerakkan semua pengrawit berpindah irama.

            Dalam pagelaran karawitan pengendhang adalah pemimpin, pemimpin yang menggunakan rasa. Lihai membaca situasi kapan harus memainkan gendhing gembira (semisal lancaran ataudolanan), kapan harus memainkan gendhing sora / keras (semisal palaran), kapan musti memainkan gendhing yang halus mendayu-dayu (semisal etawangan

) atau kapan memainkan gendhing yang sedang (semisal ladrangan). Pengendhang juga harus paham pathet, kapan waktu yang tepat meminkan gendhing pathet enem, pathet sanga atau pathet manyura.

            Pengendhang musti percaya penuh kepada pengrawit yang lain bahwa mereka masing-masing mampu memainkan instrument yang menjadi bagian masing-masing dengan baik. Tak elok jika ditengah pagelaran pengendhang sibuk mengurusi permainan gender atau bonang barung sambil berteriak-teriak. Yang utama bagi pengendhang adalah memastikan berjalannya permainan dengan baik, dengan irama yang pas, memberi tanda perpindahan irama, memahami kapan waktunya  jatuh gong akhir permainan. Hasil akhir dari pagelaran karawitan adalah “kepuasan” rasa, bagi bagi pengrawit sendiri maupun bagi penonton, lebih-lebih bagi penanggap.

Andai spirit permainan karawitan  ini dibawa kedalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kepemimpinan alangkah indahnya. Taruhlah bentuk gendhing yang dimainkan  adalah program kerja,  ater-ater adalah instruksi, kepercayaan kepada masing-masing pengrawit untuk memainkan instrumennya adalah delegasi, pengrawit lainnya adalah staff yang mumpuni, paham akan tugas dan cara melaksanakan tugasnya, dan pengendang adalah pemimpin yang penuh rasa dan estetika, mampu menyuguhkan komposisi yang harmonis, hasilnya adalah kepuasan pengrawit sendiri (kolega kerja), penonton (rakyat), bahkan sangat mungkin mampu menjadi terapi bagi penonton (rakyat) yang penuh stress oleh tekanan hidup, bahkan sangat mungkin mengantarkan penonton/pendengar (rakyat) mencapai eksatase ketuhanan.

“KENDHANG KEMPUL BANYUWANGI, Ayo ngumpul ndandani ati”

Pangapunten,

Sawoo, 29 April 2013

NILAI ETIS DALAM “PETIS MANIS”

Petis manis pupus tebu saupama (kepriye werdine)

Aja ngucap ora teges tanpa guna (kepriye karepe)

Petis manis sarpa langking saupama (kepriye werdine)

Aja ngucap yen ta amung samudana (kepriye karepe)

 

(Damar mancung) nyumpet rasa kang samar (samar)

Gagar wigar pikolehe (mula)

Teja bengkok ngirup toya (linuwung)

Kanggo kaca jroning sepi (muna  muni)

 

Petis manis yen ngucap sing ngati-ati

Dadi kanthi nyata bebrayan sejati.

 

Demikian cakepan (lirik) langgam Petis Manis karya Ki Nartosabdo, seorang empu kesenian jawa tiada tanding. Karya gendhingnya sangat banyak dan semuanya berkualitas tinggi. Mengikuti pakem satra-gendhing dalam falsafah jawa, langgam diatas sangat indah baik sastra (lirik) nya maupun gendhing (lagu/music) nya. Katakanlah sastra itu ibarat jiwanya, gendhing raganya, maka keindahan lahir-batin yang termuat dalam langgam tersebut sangat serasi, saling melengkapi, menyatu. Marilah kita mencoba menelaah syair diatas, lebih asyik jika sambil mendengarkan lagunya tentunya, sambil idhep-idhep belajar mengenal kembali gaya sastra jawa.

Petis manis pupus tebu saupama, petis yang rasanya manis maksudnya kecap, untuk menserasikan pengucapan aja ngucap pada baris berikutnya. Pupus tebu dalam bahasa jawa disebut juga sebagai gleges, untuk disesuaikan dengan kata teges pada baris berikutnya. Kemudian kata sarpa langking, sarpa itu ular sedangkan langking berarti hitam. Ular yang berwarna hitam di jawa disebut sebai ula dumung¸  disesuaikan dengan kata amung dalam baris berikutnya. Damar mancung, kata lain dai upet  kata ini digunakan untuk disesuaikan dengan kata nyumpet pada baris berikutnya. Tejo bengkok ngirup toya maksudnya adalah kluwung (pelangi), kata yang diserasikan dengan kata aluwung pada baris berikutnya. “Permainan” bahasa seperti ini dalam sastra jawa dikenal sebagai wangsalan.

Maka secara bebas lirik diatas dapat diterjemahkan sebagai ajakan untuk menghindari pembicaraan yang tidak tegas tanpa guna, serta pembicaraan yang hanya sekedar basa-basi. Lebih baik diam berkaca dalam sepi mengendalikan perasaan ragu agar pikiran terfokus tidak tercerai berai. Kemudian kalau toh musti bicara, bicaralah dengan hati-hati, itulah sikap yang musti diutamakan dalam peri kehidupan yang sebenarnya.

Indah bukan?, nasehat yang dikemas dengan gendhing yang indah, lebih mudah diterima dan meresap serta awet di rasa.

 

Malo, april 2013

Bambang Hermawan,

Penikmat Budaya

MEMBALIK RUANG YANG TERBALIK

Tulisan ini bukan tentang polemik “duluan mana antara telor dengan ayam” yang kadang membuat kita bingung dalam menjawabnya. Ini tentang “ruang”. Bukan ruang seperti ruang kantor atau sekolah, melainkan ruang antara “lahir” dan “batin”. Hmmmm…..jidat anda mulai mengkerut?, tahan dulu, santai saja.

Batin itu, kira-kira, entitas (termasuk diri kita) yang ada namun tak kasat mata. Sedangkan lahir, kira-kira lagi, adalah segala entitas yang bisa kita serap melalui panca indera, pokoknya segala sesuatu yang materiil lah. Batin kita itu, barangkali, termasuk pikiran, niat, angan-angan, rasa, emosi. Lahir kita; barangkali, ya rambut, mata, telinga, kaki, panu dsb.

Bagaimana kita “ada” di dunia ini? Apakah seperti Mr. Bean  yang ujug-ujug jatuh dari langit??. Coba jika bapak kita dulu tidak mbatin ibu kita “amboy cantiknya gadis ini”, kemudian melamarnya, mengawininya, pernahkah kita ada? Kalau begitu bukankah kita ada dari “batin”?. Bagaimana rumah yang kita huni “ada”? Bukankah awalnya kita mbatin dulu ingin memiliki rumah sendiri, kemudian meminta tolong seorang arsitek, lalu hutang bank baru membangunnya??. Jadi bukankah rumah hunian kita ada berawal dari batin??, bukannya tiba-tiba berdiri rumah baru niat kita mengikuti??

Kebahagiaan, jelas wilayah batin. Susah-senang, tentu juga wilayah batin. Kemudian timbul pertanyaan, kira-kira bahagia itu apa mutlak tergantung dari lahir (materi)?. Jika jawabannya “iya” kenapa tak sedikit orang yang memiliki segalanya justru tersiksa didalam penjara. Kenapa ada tukang becak yang nyenyak tidurnya di emperan toko, sementara ada orang kaya yang memiliki spring bed kualitas terbaik justru tak bisa tidur, karena hutangnya menggunung??. Dalam bahasa “agak” ilmiahnya materi itu tidak selalu menjamin memberikan kebahagiaan, makanya ada seorang ulama yang mengatakan “mari bersukur dulu, baru berusaha”, secara batin kita berbahagia dulu baru berusaha, bukan menipu diri untuk berjanji bersukur setelah usaha kita tercapai, nanti jangan-jangan usaha kita gagal, sudah kalah 2-0 bukan??

Jujur tak jarang kita (apalagi saya) tertipu, stress jika pulsa habis, murung jika layanan blackberry kita habis. Sebaliknya mbah-mbah pejuang kita dulu berperang melawan Belanda dengan makanan yang tak setiap hari tersedia tetap tegar. Menurut Radar Panca Dahana, salah satu budayawan terkemuka, kebudayaan kita sekarang kini terlalu didominasi oleh lahir, alias materi. Sehingga terasa begitu sumpeg, dimana-mana orang menjadi kehilangan kesabaran yang merupakan salah satu kekuatan batin. Tak heran jika disana-sini bentrok masalah kepemilikan lahan, atau seorang anak membunuh ibunya yang menolak membelikannya sepeda motor, atau seorang ibu tega membunuh bayinya kemudian bunuh diri gara-gara khawatir tak cukup secara materi. Padahal konstruksi budaya kita, jawa khususnya, tak seperti itu. Bukankah lagu kebangsaan kita mengatakan “Bangunlah Jiwanya, baru kemudian raganya”?. Bukankah hampir semua nabi rasul “menderita” secara lahir, namun memiliki kualitas batin yang aduhai?

Naif juga jika mutlak mementingkan batin dengan mengabaikan lahir, hanya saja lebih naif lagi jika kita mengimani materi (lahir) sebagai sumber kebahagiaan batin, sehingga mendorong kita menjadi gelap mata

Saatnya ruang “lahir-batin” kita balik menjadi “batin-lahir”

Selamat tahun baru 2012, kita percaya cahaya Tuhan menerangi kita, senantiasa!!

Kademangan surukubeng

30 Sesember 2011

Bambang Hermawan

CERMIN RANGGAWARSITA

Amenangi jaman edan

Ewuh aywa ing pambudi

Milu edan nora tahan

Yen tan milu nglakoni

Boya kaduman melik,

Kaliren wekasanipun

Ndilalah karsa Allah

Begja-begjane kang lali

Luwih begja kang eling lan waspada

       (Kalatida, pupuh 7, sekar Sinom,)

 

 

Bait tembang diatas merupakan karya pujangga besar jawa R. Ngabehi Ranggawarsita (1928 – 1873). Sebuah ungkapan liris yang sangat terkenal. Bait tersebut, juga termasuk karya-karya beliau yang lain, banyak dipandang sebagai jangka atau ramalan, atau dalam bahasa yang lebih sederhana sebagai pembacaan atas tanda-tanda jaman. Anggapan seperti itu tentu sah dan benar, toh memang banyak jangka sang pujangga yang menemui kenyataan, bahkan tentang kematian sang pujangga sendiri sudah beliau ramalkan sebelumnya. Namun boleh juga kiranya jika dimaknai sebagai cermin, toh jaman yang penuh gejolak terus terjadi sejak dulu yang menjadi kondisi awal bagi turunnya nabi-nabi, atau di era sekarang bagi timbulnya revolusi-revolusi (baca perubahan).

Terjemahan bebas dari bait tembang diatas kurang lebihnya sebagai berikut; menjumpai jaman edan, sungguh repot menghadapinya, ikut-ikutan edan hati tak mau, namun kalau tidak mengikuti tidak mendapat apa-apa, akhirnya menderita kelaparan-kekurangan, namun sudah menjadi kehendak Tuhan, bagaimanapun seberuntungnya orang yang edan (lupa), masih beruntung orang yang eling serta waspada.

Itulah tandanya jaman jaman edan, namanya saja edan, jadi segala hal menjadi terbalik-balik, tak wajar. Yang baik dan jujur disikat, yang culas malah mendapat hormat. Kalkulasi-kalkulasi moral, batin dipinggirkan, diganti dengan kalkulasi materi, kebendaan, dan tentu saja akhirnya keuangan. Tak heran jika di masyarakat berkembang anekdot, “nyari yang haram saja susah, apalagi yang halal”. Cilaka bukan???. Ditempat lain sang pujangga juga menyodorkan cermin tentang tanda jamam kala bendu;

Sidining kala bendu

Saya ndadra hardening tyas limut

Nora kena sinirep limpating budi

Lamun durung mangsanipun

Malah sumuke angradon

(Sabda Tama, pupuh 9, sekar gambuh)

 

Yang terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut; azabnya jaman kala bendu, makin menjadi-jadi angkara murka, tidak mungkin dikalahkan oleh  budi yang baik, bila belum sampai saatnya akibatnya bahkan akan semakin luar biasa.

Mari sejenak duduk santai sebentar, memungut cermin sang pujangga untuk menimbang-nimbang apakah jaman yang kita alami saat ini, disekitar kita saja tak usah jauh-jauh, sesuai dengan sabda sang pujangga diatas, sambil berdendang sekar gambuh dibawah ini:

Ngajapa tyas rahayu,

Ngayomana sasameng tumuwuh

Wahanane ngendhakke angkara klindhih

Ngendhangken pakarti dudu

Dinulu luwar tibeng doh

   (Sabda Tama, pupuh 3)

 

Beda kang ngaji mumpung,

Nir waspada rubedane tutut,

Kakinthilan manggon anggung atut wuri

Tyas riwut-ruwet daharu,

Korup sinerung agoroh

(Sabda Tama, pupuh 4)

 

Setialah kepada hati yang rahayu, selamat, berilah pengayoman kepada sesama makhluk, perbuatan demikian akan melenyapkan angkara murka, melenyapkan perbuatan yang bukan-bukan sejauh-jauhnya. Lain halnya dengan yang aji mumpung, kewaspadaan dia tinggalkan, tak heran kerepotan (batin) lah yang ia dapatkan, hatinya senantiasa ruwet karena keseringan berdusta.

…………..Jangan sampai terjadi buruk rupa cermin dibelah…………………….

 

 

Kademengan Suru Kubeng,

26 Oktober 2011